Aspirasi RakyatDaerah

Antara Spirit Provinsi Konservasi, Masyarakat Adat dan Kebijakan Pemerintah

JAKARTA, gardapapua.com –  Direktur EcoNusa Indonesia Melda Wita Sitompul mengatakan, semangat dan kekuatan (Spirit,red) menjadikan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi tidak boleh tercoreng oleh upaya mengorbankan Hak adat atas tanah.

Caption : Direktur EcoNusa Indonesia Melda Wita Sitompul, pada sebuah kesempatan. (Ft/Ist/FB)

Hal ini disikapinya sebagai Direktur Yayasan EcoNusa Indonesia saat pihaknya resmi menerima segala bentuk masukan dan keluhan yang disampaikan melalui pengakuan beberapa perwakilan masyarakat adat asal daerah Kebar, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat, di Jakarta.

“Kami menolak segala upaya mengelabui masyarakat adat di Kebar, Konversi Hutan menjadi perkebunan sawit. Hal ini tidak bisa lagi ditolerir, apalagi sudah ada Inpres 8/2018 tentang sawit. Oleh karena itu
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus mencabut izin salah satu perusahaan yang beroperasi disana yakni PT BAPP dan mengusut dugaan upaya pembohongan yang dilakukan oleh PT BAPP kepada Masyarakat Adat Kebar. Spirit untuk menjadikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi tidak boleh tercoreng oleh upaya ini, dan Perusahaan harus patuhi semua ketentuan adat di Tanah Papua,” terang Direktur EcoNusa Indonesia Melda Wita Sitompul, (14/10) melalui prease realese yang diterima redaksi ini.

Relaese Econusa Indonesia (14/10).

Salah satu Tokoh Masyarakat Kebar, Samuel Ariks turut menyatakan, PT BAPP pada awalnya meminta izin pakai tanah
adat untuk tanam jagung. Itupun untuk kawasan dengan alang-alang saja.
Ariks menyatakan mereka diberikan Rp. 100 juta untuk tali asih. Akan tetapi uang tersebut telah dikembalikan ketika mereka tahu jika PT BAPP justru beroperasi di hutan. Terlebih mereka mendengar bahwa tanaman sawit lah yang hendak ditanam PT BAPP.

“Kami merasa dibohongi! Kami merasa nasib dan masa depan kami terancam. Waktu kami protes ke perusahaan, mereka cuma perlihatkan dokumen yang ada tandatangan kami. Kami tak tahu
tandatangan itu dari mana. Jadi kami langsung kembalikan uang tali asih 100 juta dari mereka itu. Mereka tidak bisa beli tanah adat kami,” terang Ariks.

Untuk memperjuangkan suaranya, Ariks menggelar petisi di Change.org untuk meminta dukungan dari masyarakat. Petisi itu secara khusus diberikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Sebelumnya, masyarakat adat Kebar menyampaikan aspirasinya ke Keadilan, Perdamaian, dan
Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI. Selain itu DPRD setempat pun membentuk Panitia Khusus.

“Hutan habis dibabat, sagu jatuh habis, kami minta (Kementerian) Kehutanan yang katanya melindungi hutan untuk mencabut izin itu,” ucap ariks

Perwakilan masyarakat adat saat melakukan demonstrasi di Jl. Sudirman Jakarta Pusat (fto/Rerefensi Pihak Ketiga/Ist)

Yansedi, salah seorang masyarakat dari Kebar menyatakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal) seharusnya tidak dapat dikeluarkan ketika masyarakat menolak pengoperasian perusahaan.

“Jadi kami berharap izin ini untuk ditinjau kembali atau cabut. Kami di sana sudah memiliki ekowisata
dan ekonomi hijau, tidak butuh sawit,” tukas dia.

Selain PT BAPP, dalam penyerahan petisi ke Kementerian LHK disebutkan pula beberapa perusahaan yang melakukan penanaman sawit yang ditolak masyrakat setempat, yaitu PT Subur Karunia Raya di
Bintuni, dan PT Korindo di Boven Digoel.
“Papua Barat sebagai wilayah konservasi, kami minta agar lahan Area penggunaan Lain (APL) dinaikan menjadi hutan lindung dan lainnya,” ucap Yohanes Akwan dari Bintuni.

Aksi Masyarakat Adat, (ft/ist, Referensi Pihak Ketiga)

Sebelumnya, dalam sebuah realese hak jawab dari pihak perwakilan PT. BAPP Daniel Anhar membeberkan, sejak berdiri dan beroperasinya perusahaan PT. BAPP di distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw tercatat telah mempekerjakan sekitar 179 tenaga pekerja di lahan kebun jagung, dimana dari 179 itu, sebanyak 75% adalah pekerja lokal yang bergantung hidup dengan hasil kebun jagung, yang hanya dapat di maksimalkan pertumbuhannya penanaman jagung sekitar -+ 1.500 H.

” Jumlah pekerja kami per september 2018 telah kami laporkan kepada Gubernur adalah sebanyak 179 tenaga kerja kebun yang kini masih terkatung nasibnya,”Jelasnya belum lama ini.

Ia melanjutkan, perusahaan sangat menghormati hak ulayat masyarakat. Dimana proses perijinan telah dilakukan sesuai mekanisme, dan isu tentang perusahaan menanam sawit atau menyalahgunakan perijinan sungguh sangat tidak benar, dikarenakan perusahaan PT. Bintuni Agro Prima Perkasa telah bekerja sesuai SK Bupati Nomor : 521/296/2015 tanggal 1 juni 2015 dan telah diperpanjang sesuai SK Kepala Dinas PTSP Nomor : 570/042/DPMPTT/2018 tertanggal 4 agustus 2018, yang kesemua ijin tersebut diperuntukan untuk perijinan lokasi penanaman tanaman pangan (Jagung).

Peta lokasi penyebarluasan penanaman budidaya tanaman jagung.

” Pada intinya kami telah memperoleh ijin sesuai Peraturan Pemerintah yang berlaku dan bekerja pada areal yang telah dilepaskan oleh pemilik hak ulayat dan telah memperoleh SK HGU seluas 2.308,41 Ha. Sampai dengan saat ini lahan yang telah dibuka serta terealisasi penanaman hanya sekitar 300-an Ha, dari yang produktif sekisar -+ 1.500 HA,”Tukasnya.

Dimana kilas balik PT. BAPP memperoleh izin budidaya penanaman jagung yang hasil junlahnya dalam memenuhi kuota ekspor adalah dari Perubahan izin perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman pangan
Sehubungan terbitnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tambrauw sesuai Perda Nomor 10 Tahun 2012, maka Bupati Tambrauw sesuai SK Nomor : 050/34/2014 tanggal 21 April 2014 mengeluarkan SK tentang Penetapan Strategi Pembangunan Kabupaten Tambrauw dalam 4 (Empat) Zona Pengembangan dimana Distrik Kebar sebagai Pusat Pengembangan Agropolitan dimana didalam Zona tersebut areal PT Bintuni Agro Prima Perkasa termasuk areal yang dikembangkan untuk Agropolitan antar lain tanaman pangan, dan hal ini dikuatkan dengan Surat Kepala BAPPEDA Nomor : 050/126/2015 tanggal 28 September 2015 perihal Kajian atas rencana pengembangan budidaya tanaman pangan, yang intinya mengatakan areal untuk tanaman pangan PT Bintuni Agro Prima Perkasa sudah sesuai dengan tata ruang.

Para pekerja Masyarakat lokal kebun di PT BAPP yang diberdayakan.

Sehubungan hal tersebut dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah pada tanggal 18 Maret 2016 Bupati Tambrauw sesuai Surat Nomor : 522.1/124/2016, mengajukan perubahan komoditi kelapa sawit menjadi Usaha Budidaya Tanaman Pangan kepada Menteri Kehutanan dengan luas tetap ± 19.368,77 ha dengan tetap mempertahankan HCVF sesuai SK Menteri Kehutanan.

Selain itu, Perizinan perusahaan dan areal sudah sesuai dengan Tata Ruang, Bupati Tambrauw mengeluarkan izin lokasi untuk tanaman pangan sesuai SK Nomor : 521/296/2015 tanggal 28 September 2015 dengan luas ± 19.368,77 ha dan diperpanjang sesuai SK Kepala Dinas PTSP Nomor : 570/042/DPMPTT/2018 tanggal 4 Agustus 2018. Sebelum keluarnya SK Izin lokasi perusahaan juga telah mengadakan uji coba sesuai Surat Bupati Nomor : 525/398/VI/2015 tanggal 1 Juni 2015, tujuan uji coba untuk mengamati keseuaian tanah untuk tanaman Jagung.

Dimana klaim pihak perusahaan PT. BAPP mereka juga bekerja di atas lahan yang sudah dibebaskan seluas ± 4.448,41 ha yang berasal dari Marga Wanimeri, Wasabiti, Amawi, Arumi, Arik dan Kebar. Dari luas ± 4.448,41 ha tersebut seluas ± 2.308,3258 telah terbit SK HGU untuk tanaman pangan dan seluas ± 800 ha (20%) dialokasikan untuk HGU koperasi plasma.

” Kami pun tegaskan kembali, dari luasan SK HGU ± 2.308,3258 ha diperkirakan sesuai untuk tanaman jagung sekitar ± 1500 ha. Dan kami baru kerjakan 300an Hektar Lahan tanpa merusak hutan adat. Sehingga kami minta Gubernur Papua Barat untuk segera membijaki persoalan dugaan sengketa dan perijinan kami, agar para pekerja kami bisa kembali bekerja. Ini demi kemanusiaan dan sisi ekonomi,”Harapnya. [**/red]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *