Kotak Kosong, Antara Ilusi Dan Otokritik. “Berikan Ruang Demokrasi Kepada Rakyat, Karena Rakyat Mempunyai Hak Untuk Memilih”
MANOKWARI, gardapapua.com (17/2/2020) — Melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada, sebenarnya kurang elok. bukan justru membanggakan, Namun terkesan memalukan. Mengapa demikian? Karena ada cara pandang, bahwa melawan kotak kosong sama saja dengan dominasi satu kandidat, baik popularitas maupun elektabilitas. Dominasi semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah “kehebatan”.
Lantas, apa yang dirasakan oleh kandidat saat akan berhadapan dengan kotak kosong? ya, sudah tentu bahagia, Mengapa? Karena kemenangan sudah ada didepan mata, selain itu, kandidat tersebut hanya sedikit mengeluarkan biaya untuk kampanye dan sebagainya. Padahal, dalam arena politik, jumlah kandidat yang lebih dari satu pasang, pasti lebih asyik. Karena sebagai warga negara, masyarakat benar – benar diberi Hak dan Kesempatan untuk memilih serta memutuskan, kandidat mana yang mereka anggap mampu untuk membawa perubahan.
Disisi lain, pemilihan kepala daerah juga tidak terlepas dari peran penting partai politik. kenapa demikian, karena setiap kandidat yang hendak bertarung harus mendapat rekomendasi dari pimpinan partai politik, kecuali kandidat yang memakai jalur independent.
Dalam Undang-Undang No 10 tahun 2016 pasal 54C ayat ( 1 ) tentang pilkada, dinyatakan bahwa calon tunggal juga diperbolehkan apabila terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar tapi dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan adanya calon tunggal.
Usep Hasan Sadikin, Peneliti LSM Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi, menjelaskan, terkadang Pilkada dengan calon tunggal yang lawanya kotak kosong dapat merugikan rakyat sebagai pemilih, mengingat rakyat merupakan pemilik kedaulatan didalam demokrasi. Menurut Usep, kerugian rakyat sebagai pemilih dapat disebabkan secara sistemik berdasarkan Undang-Undang pilkada.
Ia mengatakan, keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan menjaga status quo, tetap berkuasa dengan cara menjegal saingannya lewat modus “Borong partai”.
“Untuk itu, Partai politik juga ekstra hati-hati dalam memberikan rekomendasi kepada seorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, Kecuali, partai politik yang oportunis. Sehingga kita perlu lawan segala macam bentuk pembodohan publik,”terang Usep.
Pandangan yang sama juga diberikan oleh Bahmudin Kahar Refideso, salah satu pemuda dari kabupaten teluk bintuni, satu dari sembilan (9) daerah di bawah naungan pemerintahan Provinsi Papua Barat yang pada tahun 2020 turut melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak.
Kahar sapaan akrabnya, yang juga selaku Ketua AMPG Teluk Bintuni menjelaskan, bahwa semua kandidat atau siapa saja boleh berasumsi dan mereka mempuyai hak dalam perpolitikan. namun jangan lupa, bahwa masyarakat juga mempunyai hak untuk menentukan pilihan mereka, karena kedaulatan berada di tangan rakyat dan itulah yang dinamakan demokrasi yang baik.
“Persoalan menang atau kalah, itu biasa. kami juga memberikan ruang kepada siapapun untuk bertarung secara sehat, karena kami ingin memberikan Pendidikan politik yang baik kepada rakyat” Kata Kahar.
Pemilihan kepala daerah sudah semakin dekat, Rakyat Teluk Bintuni khususnya, perlu dididik dan berpikir dengan rasional untuk sadar berpolitik. Hal ini adalah tujuan agar Rakyat dapat memilih pemimpin yang representatif daerah, memiliki rasa cinta terhadap daerah, dan benar-benar memanifestasi diri seutuhnya untuk membangun Daerah yang telah dipercayakan oleh konstituennya. [NC-RED]