Hukum dan KriminalNasional

Waspada!! KPAI Sebut, Sorong Darurat Kejahatan Seksual

JAKARTA, gardapapua.com — Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI) sebagai lembaga yang ditugasi untuk melakukan pembelaan dan prrlindungan anak di Indonesia, menilai bahwa perbuatan seorang pria berinisial MD (40) berkedok sebagai dukun yang konon katanya mampu menyembuhkan berbagai penyakit telah melakukan kejahatan seksual secara paksa dan berulang terhadap dua gadis di bawah umur di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dapat diancam dengan pidana pokok minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun.

” Dan atau Jaksa Penuntut Umum (JPU Kejari Sorong Selatan) dapat juga menuntut MD dengan tuntutan hukuman tambahan dengan pidana seumur hidup, “Ucap Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari Studio Komnas ANAK TV. di Jakarta Timur, Sabtu, (27/07).

Peristiwa ini diketahui, berdasarkan himpunan laporan informasi oleh tim KPAI, terjadi di kampung Keyen Kabupaten Sorong Selatan Papua Barat.

Juga sebelumnya, Kapolda Papua Barat melalui Kabid Humas AKBP Mathias Krey dalam rilisnya telah mengatakan, bahwa pelaku saat ini telah diamankan di Polres Sorong Selatan guna mempertanggungjawabkan perbuatannya atas kejahatan seksual yang dilakukannya terhadap kedua korban masing -masing Melati (17) tahun dan Mawar (15) bukan nama sebenarnya, ini bermula ketika pelaku sebagai dukun berkedok sebagai “paranormal” yang mampu menyembuhkan kedua korban dari derita sakit yang dialaminya sejak tahin 2017 lalu.

” Namun ternyata, pelaku bukannya menyembuhkan penyakit kedua anak remaja itu, tapi justru melakukan kejahatan seksual kepada kedua korban, “Ungkapnya

Kasus ini sendiri baru diketahui orang tua korban pada 18 Juli 2019, di mana salah satu korban bercerita kepada saksi Esterlali tentang apa yang dialaminya.

Dari cerita tersebut kemudian orang tua korban langsung melaporkan peristiwa yang dialami anaknya itu ke Polres setempat.

Kejadiannya terjadi pada Kamis 18 Juli 2019 sekitar pukul 22.00 WIT. Pelapor mengetahui dari anaknya bahwa terlapor MD telah mencabulinya sebanyak 3 kali sejak 2017 ungkap Mathias, melalui bunyi rilis pers tersebut.

Waktu itu korban dibawa orang tuanya ke rumah pelaku untuk berobat namun justru bukan diobati malah pelaku menyetubuhi korban. Dari penjeladan korban bahwa perbuatan pelaku ini sudah dilakukan kepada dirinya sejak Desember 2017 sampai dengan April 2019 ungkap Kabid Humas Polda Papua Barat.

Dari hasil pengakuan pelaku, MD si dukun cabul itu telah merudapaksa korban Melati sebanyak 3 kali, begitu juga dengan
Mawar sebanyak 3 kali.

Untuk kepentingan penyidikan, Polisi telah menyita barang bukti berupa 1 buah kalung berwarna putih untuk pengobatan, 1 buah kelereng warna kuning 1 buah botol obat dan 1 lembar kain warna hitam.

Bersesuaian dengan ketentuan UU RI Nomor : 17 tahun 2016 mengenai penerapan Perpu Nomor : 01 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU RI Nomor : 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak junto UU RI Nomor : 35 tahun 2014 mengenai perubahan atas UU RI Nomor : 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dan mengingat kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa dan penanganan hukumnya juga harus luar luar biasa, maka tidaklah berlebihan jika Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia mendorong pihak Polres Sorong Selatan untuk menerapkan dan atau menjerat MD dengan ketentuan 2 hukum diatas agar JPU dapat menuntut pelaku dengan tuntutan yang maksimal. Artinya MD dapat dijerat dengan pasal dan ketentuan hukum beapis, demikian Arist menegaskan.

“Bagi Komnas Perlindungan Anak tidak ada kata DAMAI terhadap segala bentuk kejahatan kemanusiaan danB kejahatan seksual terhadap anak. Janganlah ada pihak-pihak yang menawarkan atau memfasilitasi penyelesaian damai berselimutkan adat untuk menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ini,”Imbuh Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

“Saya sangat percaya atas komitmen Bapak Kapolda Papua Barat dan Direskrimum Polda Papua Barat serta Kapolres Sorong Selatan dan jajaran Satreskrimum yang menangani perkara ini untuk tidak melayani pendekatan damai berselimutkan pendekatan adat dalam menangani perkara ini,”Tambahnya

Sesuai tugas dan komimen Polri, Komnas Perlindungan anak yakin dan percaya bahwa Polres Sorong Selatan tidak akan ragu-ragu menangkap, menahan dan menjerat predator kejahsatan seksual setimpal dengan perbuatannya yang mengakibatkan korban mengalami trauma.

Untuk keperluan pendampingan hukum dan pemulihan trauma bagi korban, Komnas Perlindungan Anak segera meminta kantor Perwakilan Komnas Perlindungan Anak yakni Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Manokwari dan Sorong untuk segera berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pihak Polres Sorong Selatan untuk proses penegakan hukumnya.

Lebih jauh Arist mengatakan, untuk pemulihan trauma korban, Komnas Anak bersama pegiat perlindungan Anak dari kantor P2TP2A Kabupaten Sorong Selatan untuk melakukan terapi Psikososial bagi korban serta pendampingan hukum jika diperlukan.

Lebih lanjut Arist Merdeka Sirait aktivis anak berjenggot putih itu menegaskan. Komnas Perlidungan Anak bersama LPA Papua Barat memberikan atensi khusus pada peristiwa kejahatan seksual yang dilakukan MD ini, karena Komnas Perlindungan Anak menilai bahwa sesuai dengan fakta dan data atas kejadian dan peristiwa kejahatan seksual yang terjadi wilayah hukum Sorong sepanjang tahun 2010-2019 ini, maka tidaklah berlebihan jika Komnas Perlindungan Anak menilai bahwa Kabupaten Sorong, saat ini berada pada posisi darurat kejahatan seksual yang patut diwaspadai.

Masih segar dalam ingatan kita khususnya warga Kabupaten Sorong bahwa beberapa tahun lalu, dua orang Predator seksual warga Sorong yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak usia 7 tahun disertai menghilangkan nyawa korban dengan cara membenam tubuh korban di areal hutan bakau diujung landasan Bandara Sorong, dimana semula pelaku dituntut oleh Jaksa Penuntut Kejari Kabupaten Sorong dengan ancaman hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Sorong akhirnya divonis dengan hukuman seumur hidup.

Putusan ini sesungguhnya sudah bisa menjadi yurisprudensi bagi para aparatus penegak hukum untuk tidak rahu-ragu menyangkakan, menuntut dan memvonis para predator kejahatan seksual terhadap anak dengan dasar hukum
UU RI Nomor : 17 Tahun 2016. [Rls/Red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *