‘Pertobatan Ekologis’, Momentum Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia
MANOKWARI, gardapapua.com —Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni, mengingatkan umat manusia untuk menghadapi tantangan lingkungan hidup yang ada saat ini melalui “Pertobatan Ekologis” dengan sikap syukur, belas kasih dan persembahan diri kepada Allah.
Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia atau World Environment Day dimulai sejak tahun 1972 ketika Majelis Umum PBB menetapkan 5 juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada saat Konferensi Stockholm, mengingatkan kita pada fenomena pemanasan global semakin mengkhawatirkan sehingga bumi tidak begitu sehat lagi.
Saat ini, berbagai permasalahan lingkungan hidup dan kondisi bumi masih dihadapkan pada berbagai tantangan lingkungan hidup, termasuk perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, polusi udara, polusi air, penebangan hutan dan penggunaan plastic serta masalah-masalah lainnya.
Pemerintah di berbagai negara telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah-masalah ini, meskipun tingkat keberhasilannya bisa bervariasi. Salah satu upaya yang dilakukan berupa meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan mempromosikan aksi nyata untuk melindungi planet ini meliputi kampanye penyuluhan, kegiatan pembersihan lingkungan, penanaman pohon massal, atau kebijakan-kebijakan baru yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Beberapa negara telah mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pro-lingkungan seperti meningkatkan investasi dalam energi terbarukan, mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi habitat alami, dan mendorong praktik pertanian yang berkelanjutan. Namun, tantangan besar masih ada dan kerja sama internasional terus diperlukan untuk menghadapi masalah lingkungan global.
Di Papua Barat, selaku Animator Laudatosi, Yohanes Ada Lebang, mengingatkankan pula pentingnya Hari Lingkungan Hidup Sedunia untuk melakukan “Gerakan Bersama” yaitu untuk mengingatkan komitmen semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta, akan tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup bagi generasi mendatang.
“Salah satu contohnya bahwa suhu global bumi terus meningkat akibat emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana, yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu rata-rata global, perubahan pola cuaca yang ekstrim, naiknya permukaan air laut, dan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati dan Penggunaan plastik yang berlebihan dan kurangnya pengelolaan limbah plastik menyebabkan pencemaran lingkungan yang luas, termasuk pencemaran laut yang serius dan bahaya bagi satwa laut,”Jelas Joe panggilan akrab sang aktivitis lingkungan
Lanjut Lebang, Refleksi Laudatosi, “Kekerasan yang ada di hati kita, terluka oleh dosa, juga tercermin dalam gejala kerusakan akut yang terlihat di tanah, air, udara dan dalam segala bentuk kehidupan ”(Laudato Si ‘, 2). Harapannya untuk mengupayakan pastoral yang menyembuhkan dan membangun kembali hubungan kita yang rusak! Dimana kita mengerti dengan sangat jelas bahwa kehidupan manusia didasarkan dalam tiga hubungan mendasar dan saling terkait: dengan Tuhan, dengan sesama kita dan dengan alam atau bumi itu sendiri. » (Laudato Si ’, 66). Inilah koneksitas yang tidak boleh dan jangan sampai terputus.
Dengan tujuan Laudato Si’ dalam semangat ekologi integral (yang bisa diupayakan), yaitu: Respon terhadap Teriakan Bumi (penggunaan energi terbarukan bersih yang lebih besar dan pengurangan bahan bakar fosil untuk mencapai netralitas karbon, upaya untuk melindungi dan mempromosikan keanekaragaman hayati, menjamin akses ke air bersih untuk semua, dll.); Menanggapi Seruan Kaum Miskin (mempertahankan kehidupan manusia mulai dari pembuahan hingga kematian dan segala bentuk kehidupan di Bumi, dengan perhatian khusus pada kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, migran, anak-anak yang berisiko terhadap perbudakan, dll.) dan Ekonomi Ekologis (produksi berkelanjutan, perdagangan adil, konsumsi etis, investasi etis, divestasi bahan bakar fosil dan segala kegiatan ekonomi yang berbahaya bagi planet dan manusia, investasi dalam energi.
Dengan mengetahui akar manusiawi krisis ekologis, yaitu: penyebab alamiah/natural (gempa bumi, letusan, gunung berapi, tsunami, dll) dan penyebab manusiawi. Pada penyebab manusiawi, hal itu bersumber pada dua paradigma (cara pikir, cara merasa dan cara bertindak manusia) akan alam: paradigma teknokratis dan paham antroposentrisme. Serta, Paradigma teknokratis. Di satu sisi “Teknologi telah membantu mengatasi hal-hal buruk yang tidak terhitung jumlahnya yang menghambat dan membatasi manusia, terutama di bidang kedokteran, Teknik dan komunikasi” (LS. No. 102).
Dengan paham Antroposentrisme adalah paham yang menempatkan manusia sebagai pusat dalam alam semesta. Di sini, manusia tidak memahami dan memposisikan diri sebagai pengelola yang bertanggung jawab (stewardship) terhadap sesama dan alam, sebagaimana yang menjadi visi Kristiani, melainkan sebagai yang di atas/di luar alam bahkan “menggantikan tempat Allah dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam”. (LS. No. 117).
Situasi ini mengantar pada sikap mengagungkan manusia dan teknologi hasil ciptaannya, dan mengabaikan nilai instrinsik pada makhluk lain hingga sesama. Manusia lupa bahwa hidup dan keberadaannya tergantung erat dengan keberadaan dan kelangsungan hidup alam dan sesamanya.
Paus Fransiskus memberikan solusi bagi krisis ekologis, yaitu: peralihan paradigma (ekologi integral), gerakan bersama (dialog), dan perubahan gaya dan pola hidup (Pendidikan dan spiritualitas ekologis).
Sang teladan Santa Teresia dari Lisieux mengajak kita untuk mempraktikkan “jalan kecil cinta”, tidak melewatkan kesempatan untuk sebuah kata lembut, untuk sebuah senyuman, untuk suatu gerakan kecil apa pun yang menebarkan perdamaian dan persahabatan. Ekologi integral juga terdiri dari tindakan sehari-hari yang sederhana, yang mematahkan logika kekerasan, eksploitasi, keegoisan. Sementara itu, dunia konsumsi yang keterlaluan sekaligus adalah juga dunia yang menganiaya kehidupan dalam segala bentuknya.
“Pelajaran bagi kita adalah Konsumsi bahan bakar fosil, digerakan oleh system ekonomi (supply & demand); Pilih pemimpin yang punya kepedulian pada lingkungan dan keadilan sosial (kaum miskin) melalui kebijakan politik yang mengurangi supply; Kita sendiri harus mengubah “mind set” untuk mengurangi demand.; dan Bumi ini adalah warisan bagi semua orang. Buahnya mesti dinikmati semua orang. Segala pendekatan ekologis untuk memecahkan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan mesti mengikutsertakan perspektif sosial, dan terutama keadilan bagi orang miskin.
Pertobatan ekologis yang diperlukan untuk menciptakan suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga merupakan pertobatan komunal.
Pertobatan ini menyiratkan berbagai sikap yang bersama-sama menumbuhkan semangat perlindungan yang murah hati dan penuh kelembutan. Pertama, menyiratkan rasa syukur dan kemurahan hati, artinya, pengakuan bahwa dunia merupakan anugerah yang diterima dari kasih Bapa, yang menimbulkan sikap pengingkaran diri dan kemurahan hati tanpa pamrih, bahkan jika tidak ada yang melihat atau mengetahuinya: “janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:3-4).
Pertobatan ini juga menyiratkan kesadaran penuh kasih bahwa kita tidak terpisahkan dari makhluk lainnya, tapi dengan seluruh jagat raya tergabung dalam suatu persekutuan universal yang indah. Sebagai orang beriman, kita tidak melihat dunia dari luar tapi dari dalam, seraya menyadari ikatan-ikatan yang telah dijalin Bapa antara kita dan semua makhluk.
Selain itu, dengan meningkatkan kemampuan khusus yang telah diberikan Allah, pertobatan ekologis mendorong orang beriman untuk mengembangkan antusiasme dan kreativitasnya, untuk menghadapi masalah dunia dengan mempersembahkan diri kepada Allah “sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan” (Roma 12: 1).
“Kita tidak menganggap kelebihan kita ini sebagai alasan untuk memegahkan diri atau mendominasi secara tak bertanggung jawab, tetapi sebagai kemampuan berbeda yang pada gilirannya meletakkan pada kita tanggung jawab besar yang lahir dari iman,”Paparnya
“Untuk itu, kita diharapkan dengan momentum Peringatan Hari Lingkungan dengan Gerakan bersama melakukan pertobatan ekologis. Kekayaan spiritualitas Kristiani menyumbang banyak bagi upaya membarui kemanusiaan. Namun harus diakui bahwa ”beberapa orang Kristiani, yang berkomitmen dan berdoa, cenderung, meremehkan ungkapan kepedulian terhadap lingkungan…. Maka yang dibutuhkan adalah pertobatan ekolosi” (LS. No. 217). Pertobatan ekologis menyiratkan: sikap syukur, belas kasih dan persembahan diri kepada allah,”Sambungnya menutup. [AN/RED]