DaerahGarda Raja Ampat

Nyatakan Sikap, Masyarakat Salawati Selatan Gabung LMA Klanafat /DAS Maya Kabupaten R4

WAISAI, gardapapua.com — Masyarakat yang berkedudukan di wilayah adat Kampung Sailolof, Kampung Kotlol, Kampung Maralol, Kampung Duriankari dan Kampung Waliam, secara administratif merupakan bagian wilayah pemerintahan Distrik Salawati Selatan Kabupaten Sorong.

Oleh sebagian kalangan masyarakat, termasuk pihak pemangku kepentingan lainnya, menganggap bahwa kelompok masyarakat adat ini bernaung di bawah bendera Lembaga Masyarakat Adat Malamoi (LMA) Kabupaten Sorong.

Hal ini, merupakan suatu bentuk kekeliruan yang dibangun oleh kelompok tertentu untuk mengelabui masyarakat pada umumnya.

Apabila dilihat dari segi kultur seharusnya masyarakat adat di bagian selatan Pulau Salawati ini, harus bernaung di bawah bendera Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kalanafat Kabupaten Raja Ampat, yang secara adat mempunyai wilayah adat meliputi wilayah Pulau Salawati bagian Utara dan Salawati bagian Selatan.

Bahwa Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kalanafat, secara hukum dari dahulu sampai saat ini telah mendapat pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Sorong, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Kota Sorong Propinsi Papua Barat.

Hal tersebut yang merupakan fakta sejarah, yang disampaikan oleh Badarudin Mayalibit, S.ip dalam sambutannya, sesaat setelah dilakukan pengukuhan secara aklamasi oleh seluruh tua-tua adat yang menetapkannya sebagai “Tokoh Adat” atau “Kapitan Laut”, Rabu, (28/08/19) sore di Kampung Sailolof Distrik Salawati Selatan.

Dalam pertemuan bersama tokoh-tokoh adat di wilayah Salawati Selatan ini bertujuan untuk menyatukan pendapat, menyatakan sikap dan kesepakatan bahwa masyarakat adat Salawati Selatan tidak akan pernah mengikuti ketentuan adat LMA Malamoi dan tetap akan mengikuti ketentuan adat LMA Kalanafat yang bernaung dibawah bendera Dewan Adat Maya (DAS) Raja Ampat.

“Untuk itu, saya selaku kepala adat yang dipercayakan bersama kepala-kepala adat yang lain, hari ini menandatangani pernyataan sikap, bahwa kita di Salawati Selatan tidak akan pernah mengikuti ketentuan adat Malamoi, karena kita sudah di intervensi dan dikerdilkan hak-hak kita sampai hari ini, karena selama ini kita tidak tau hak-hak kita seperti apa?” tegas Bada sapaan akrab Badarudin Mayalibit.

Menurutnya apabila tokoh-tokoh adat telah bersatu, maka secara otomatis masyarakat adat akan mengetahui batas-batas wilayah adat mana saja yang merupakan wilayah adat masyarakat Salawati Selatan dan hak-hak adat apa saja yang harus mereka perjuangkan.

Dengan adanya pernyataan sikap tersebut, dia berharap wilayah adat Salawati Selatan tidak lagi diintervensi oleh lembaga-lembaga adat yang lain terutama LMA Malamoi.

Sebelumnya lanjut Bada, dia dan beberapa tokoh adat telah berkonsultasi dengan Majelis Rakyat Papua Barat (MRP) di Manokwari, untuk mempertahankan hak-hak adat masyarakat Salawati Selatan yang selama puluhan tahun terabaikan, karena dikuasai oleh pihak lain tanpa mempedulikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai hak kesulungan atas berbagai potensi Sumber Daya Alam berupa Migas.

“Konsultasi dengan MRP perlu dilakukan karena MRP merupakan lembaga kultur yang mengayomi seluruh masyarakat adat di wilayah Papua Barat, dan hal ini kami rasakan tidak bertentangan dengan pemerintah, maupun dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, karena undang-undang sendiri menjamin keberadaan masyarakat adat,” jelas Bada.

Wilayah Salawati Selatan terkenal dengan hasil migas, namun selama puluhan tahun masyarakat Salawati Selatan, tetap hidup dibawah garis kemiskinan.

Hak-hak atas petuanan adat mereka tidak pernah mereka nikmati sama sekali. Bahkan untuk menikmati jenjang pedidikan yang lebih tinggi bagi generasi anak cucu mereka saja, mereka tidak mampu membiayainya karena kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah adat tersebut hampir tidak diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Sorong dan pihak perusahaan yang melakukan kegiatan eksplorasi Migas di Salawati Selatan.

Fakta-fakta tersebut di pertegas kembali oleh Umalelen selaku seorang tokoh adat Kampung Sailolof. Ia menjelaskan bahwa banyak anak-anak kami putus sekolah karena tidak mampu membiayai pendidikan bagi anak cucu kami sampai pada tingkat perguruan tinggi.

“Mereka terpaksa kembali ke kampung dan menikah pada usia dini, padahal kami punya tempat ini kaya akan sumber daya alam (Migas), yang juga telah memberikan kontribusi penerimaan bagi negara yang cukup besar,” tegas Umalelen.

“Untuk itu, pada kesempatan ini saya mau bertanya kepada Pemerintah, apakah kami masih punya utang kepada negara kah? Karena sampai hari ini kami masih tetap hidup miskin dan hanya tinggal dibawah penerangan obor gas yang menyala siang malam menerangi hutan adat kami. Dan kami tinggal dikampung yang mengelilingi obor gas tetapi tidak mendapat lampu penerangan berupa listrik kampong,” jelas Umalelen.

Selain kehadiran kepala-kepala adat, pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Babinsa Salawati Selatan dan perwakilan dari Distrik Salawati Selatan Kabupaten Sorong. [DM/RED]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *